Untuk file yang lengkap, klik link dibawah ini: 8.1 Pengertian Investasi Investasi berarti pengeluaran dana saat ini dengan harapan memperoleh hasil atau keuntungan di masa datang. Dilihat dari dimensi waktu, investasi dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu: Materi ini difokuskan pada investasi jangka panjang, khususnya asset riil, sehingga dalam penilaian investasi ini konsep nilai waktu uang menjadi penting untuk diperhatikan. Dalam manajemen keuangan, investasi jangka panjang dikaitkan dengan penganggaran modal atau capital budgeting. Pengertian modal atau capital mengacu pada aktiva tetap yang dipergunakan dalam proses produksi atau aktivitas pokok perusahaan. Perusahaan memutuskan untuk melakukan investasi saat ini dengan harapan mendapat keuntungan di masa yang akan datang. Seperti misalnya investasi pada perlengkapan sistem distribusi, bangunan, sarana produksi yang lebih baik, penelitian dan pengembangan produk baru dan aktiva tetap lainnya. Dengan kembali mengingat tujuan utama perusahaan, yaitu memaksimumkan kemakmuran pemilik (pemegang saham), maka dalam menilai keputusan investasi jangka panjang juga harus mengacu pada tujuan tersebut. Dengan kata lain, keputusan investasi harus dinilai dalam hubungannya dengan kemampuan untuk menghasilkan keuntungan yang sama atau lebih besar dari yang disyaratkan oleh pemilik modal. Dalam capital budgeting diperlukan beberapa informasi berikut: Secara umum investasi jangka panjang menyangkut salah satu dari klasifikasi berikut: Tugas yang paling penting dalam penganggaran modal adalah estimasi aliran kas. Estimasi atau proyeksi aliran kas melibatkan berbagai variabel, individu, dan berbagai bagian atau departemen dalam perusahaan. Misalnya, proyeksi penjualan dan harga diperoleh dari bagian pemasaran, proyeksi aliran kas keluar yang berkaitan dengan produk baru disediakan oleh bagian produksi, dan proyeksi biaya operasi diperoleh dari bagian akuntansi biaya, produksi, pembelian dan bagian lain yang terkait. Peran manajer keuangan adalah mengkoordinasikan informasi berbagai departemen dan mengendalikan proses estimasi untuk meyakinkan bahwa bagian atau individu menggunakan metode secara konsisten dan asumsi yang rasional. Mengapa aliran kas yang sangat penting dalam analisis investasi, bukan laba yang dilaporkan menurut catatan akuntansi ? Hal ini disebabkan karena: Di dalam menaksir atau memproyeksikan aliran kas, di samping akurasi, juga penting diperhatikan masalah relevansi. Untuk estimasi aliran kas yang relevan, diperlukan perhatian atas hal-hal penting berikut ini: Aliran kas dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Aliran kas permulaan (initial cash flow) Untuk dapat menentukan aliran kas permulaan (initial cash flow) atau juga diistilahkan capital outlays, perlu diidentifikasi aliran kas yang berhubungan dengan pengeluaran investasi. Ini berarti harus diketahui berapa besar pengeluaran untuk tanah, pembuatan bangunan dengan perlengkapannya dan sebagainya. Ditambah juga dengan pengeluaran-pengeluaran untuk biaya-biaya pendahuluan dan sebelum operasi, termasuk penyediaan modal kerja. Karena itulah untuk proyek-proyek yang besar, aliran kas permulaan ini tidak hanya terjadi pada awal periode, tetapi bisa beberapa kali; pada tahun 1, tahun 2 dan sebagainya. 2. Aliran kas operasional (operational cash flow) Aliran kas operasional (operational cash flow) juga diistilahkan dengan aliran kas masuk bersih atau Proceeds . Estimasi tentang besarnya aliran kas operasional tahunan merupakan titik permulaan untuk penilaian profitabilitas usulan investasi. Kebanyakan cara yang dipergunakan untuk menaksir aliran kas operasional tahunan adalah dengan menyesuaikan taksiran rugi laba yang disusun berdasarkan prinsip-perinsip akuntansi dan menambahkannya dengan biaya-biaya yang sifatnya bukan tunai ( seperti: penyusutan misalnya). Karena itu, dalam praktek cara yang sering dijumpai dalam menaksir aliran kas operasional atau proceeds ini adalah menggunakan rumus : Aliran Kas masuk bersih = laba setelah pajak + penyusutan Meskipun cara tersebut sering tepat, tetapi ada persyaratan yang harus dipenuhi. Penggunaan cara tersebut cukup tepat apabila pengakuan terhadap penghasilan dan biaya menurut akuntansi tidak banyak berbeda dengan terjadinya penerimaan dan pengeluaran kas. Kalau antara pengakuan penghasilan dan biaya cukup berbeda, maka penggunaan cara itu akan memberikan hasil yang tidak tepat. Kalaupun bisa menyesuaikan laporan akuntansi menjadi pola aliran kas karena persyaratannya memenuhi, maka yang sering juga menjadi persoalan adalah kalau proyek tersebut dibelanjai dengan (sebagian) pinjaman. Umumnya kalau proyek tersebut dibelanjai dengan modal sendiri, penaksiran aliran kas operasionalnya tidak menjadi masalah. Masalah sebenarnya timbul karena dicampurkannya keputusan pembelanjaan dengan hasil investasi proyek tersebut. Untuk memperjelas hal ini berikut disajikan suatu contoh, Misalkan ada suatu investasi yang dibelanjai dengan 100% modal sendiri, senilai Rp 100 juta. Umur ekonomisnya 2 tahun, tidak mempunyai nilai sisa . Kalau penyusutan dilakukan dengan metode garis lurus, maka penyusutan per tahunnya adalah Rp 50 juta. Taksiran laba rugi per tahun adalah sebagai berikut : Penghasilan Rp 150 juta Biaya-biaya: Tunai Penyusutan Rp 70 juta Rp 50 juta Rp 120 juta Laba sebelum pajak Pajak (50%) Rp 30 juta Rp 15 juta Laba setelah pajak Rp 15 juta Aliran Kas bersih/proceeds = Rp 15 juta + Rp 50 juta Rp 65 juta Perhitungan di atas adalah benar apabila pengakuan terhadap biaya dan penghasilan menurut akuntansi tidak banyak berbeda dengan terjadinya pengeluaran dan penerimaan kas. Sekarang kalau misalkan proyek tersebut dibelanjai dengan 100% pinjaman (contoh ini hanya untuk menyederhanakan saja, karena mungkin tidak pernah ada proyek yang dibelanjai dengan 100% pinjaman). Katakan bahwa bunga pinjaman adalah 20% per tahun. Taksiran laba rugi menjadi sebagai berikut : Penghasilan Rp 150 juta Biaya-biaya: Tunai Penyusutan Rp 70 juta Rp 50 juta Rp 120 juta Laba sebelum bunga dan pajak Bunga Rp 30 juta Rp 20 juta Laba sebelum pajak Pajak (50%) Rp 10 juta Rp 5 juta Laba setelah pajak Rp 5 juta Proceeds = laba setelah pajak + penyusutan = Rp 5 juta + Rp 50 juta = Rp 55 juta Untuk keperluan penaksiran operationanal cash flow atau proceeds , cara semacam ini membuat kesalahan dalam hal mencampur-adukkan cash flow karena keputusan pembelanjaan (yaitu pembayaran bunga) dan cash flow karena keputusan investasi (penghasilan, pengeluaran biaya tunai, pajak). Untuk itu cara menaksir aliran kas operasional yang benar adalah : Aliran kas operasional = laba setelah pajak + penyusutan + bunga ( 1 – pajak) (Proceeds) Dengan memperhatikan rumus tersebut maka : Proceeds = Rp 5 juta + Rp 50 juta + Rp 20 juta (1 – 0,50) = Rp 65 juta Perhatikan bahwa hasil perhitungan tersebut, yaitu Rp 65 juta, adalah sama dengan hasil yang diperoleh kalau menganggap bahwa investasi tersebut dibelanjai dengan modal sendiri. Kalau misalnya investasi tersebut dibelanjai dengan 50% hutang dan 50% modal sendiri, maka kalau digunakan cara seperti tersebut di atas, aliran kas masuk bersihnya juga tetap Rp 65 juta. Penaksiran aliran kas bersih semacam ini terutama penting, kalau investasi nantinya dihubungkan dengan biaya modal (cost of capital). Kalau biaya bunga dikurangkan terlebih dahulu dalam menghitung aliran kas, dan kemudian dipergunakan biaya modal dalam perhitungan layak tidaknya suatu usulan investasi, maka akan terjadi perhitungan ganda (double accounting). Pertama pada waktu mengurangkan bunga pada laba, kedua pada waktu menggunakan tingkat bunga sebagai biaya modal untuk menilai layak tidaknya suatu investasi. Dalam menaksir aliran kas operasional juga perlu ditentukan periode waktu yang diperkirakan. Umumnya periode waktu yang dipergunakan dalam menaksir aliran kas operasional ini disesuaikan dengan umur ekonomis investasi tersebut. Umur ekonomis suatu proyek investasi merupakan jangka waktu di mana proyek itu dapat memberikan manfaat ekonomis. Di luar periode tersebut, proyek tidak lagi mempunyai arti ekonomis. Didalam menaksir umur ekonomis inipun terkadang mengalami kesulitan. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena perubahan teknologi. Semakin cepat perubahan teknologi, semakin pendek umur ekonomis yang ditaksir dapat dinikmati oleh investasi tersebut. Berikut ini disajikan beberapa cara yang dapat digunakan untuk menaksir aliran kas operasional. Misalkan, sebuah perusahaan memiliki laporan perhitungan laba rugi performa sebagai berikut: Pendapatan penjualan Biaya tunai : Biaya variabel Biaya tunai tetap Penyusutan Rp 145 juta Rp 90 juta Rp 10 juta Rp 15 juta Laba sebelum bunga dan pajak Bunga Rp 30 juta Rp 5 juta Laba sebelum pajak Pajak (40%_ Rp 25 juta Rp 10 juta Laba setelah pajak Rp 15 juta Dari data tersebut, berapa taksiran aliran kas operasional /proceeds ? Aliran kas operasional = (1 - T) (EBDIT) - (T x Dep) = (1 – 0,4)(45 juta) + (0,4) x 15 juta) = 33 juta Aliran kas operasional = (1 - T) (EBIT) + Dep. = (1 – 0,4)(30 juta) + 15 juta = 33 juta Aliran kas operasional = (1 - T) (EBT) + (1 – T)(bunga) + Dep. = (1 – 0,4)(25 juta)+ (1 - 0,4) (5 juta) + 15 jta = 33 juta Aliran kas operasional = EAT + Dep. + (1 - T) (Bunga) = (15 juta + 15 juta + (1 – 0,4)(5 juta) = 33 juta 3. Aliran kas pada akhir umur investasi (terminal cash flow) Terminal Cash Flow umumnya terdiri dari cash flow nilai sisa (residu) investasi tersebut, dan pengembalian modal kerja. Beberapa proyek mungkin masih mempunyai nilai meskipun aktiva-aktiva tetapnya sudah tidak mempunyai nilai ekonomis lagi. Aliran kas dari nilai sisa ini juga perlu dihubungkan dengan pajak yang mungkin dikenakan. Sebagai misal, nilai buku dari suatu aktiva tetap adalah Rp 10 juta. Tetapi saat dijual, laku seharga Rp 12 juta. Berarti perusahaan memperoleh laba sebesar Rp 2 juta (laba ini sebenarnya merupakan capital gain). Kalau misalkan perusahaan dikenakan pajak 20% atas capital gain tersebut, maka aliran kas dari nilai sisa ini adalah Rp 12 juta – (Rp 2 juta x 0,2) = Rp 11,60 juta. Sebagaimana pada umur ekonomis, maka penaksiran nilai sisa dari suatu investasi juga cukup sulit. Masalahnya tidak lain adalah lamanya dimensi waktu yang dihadapi dalam penaksiran ini. Misalkan umur ekonomis ditaksir 5 tahun, maka untuk menaksir berapa nilai sisa suatu aktiva tetap, berarti kita memproyeksikan pada 5 tahun mendatang. Ini jelas merupakan pekerjaan yang cukup sulit. Kalau proyek tersebut memerlukan modal kerja, dan umumnya proyek-proyek memang membutuhkan, maka kalau proyek tersebut berakhir, modal kerjanya tidak lagi diperlukan. Dengan demikian, modal kerja ini akan kembali sebagai aliran kas masuk pada akhir umur proyek. Di muka telah dijelaskan tentang komponen aliran kas serta beberapa contoh. Untuk kasus-kasus sederhana mungkin penaksiran aliran kas tidak terlalu merupakan masalah. Tetapi untuk proyek-proyek yang mempunyai interaksi dengan proyek lain, maka penaksiran aliran kasnya perlu hati-hati. Prinsip yang digunakan adalah prinsip incremental (selisih). Misalkan, suatu perusahaan mobil merencanakan untuk membuat mobil yang kecil, kompak dan hemat energi. Tetapi sebagai akibatnya produk yang lain (mobil yang besar dan comfort) akan tersaingi. Akibatnya mungkin penjualan produk lama menjadi turun karena disaingi oleh produk yang baru. Dengan demikian maka dalam menaksir aliran kas operasional dari proyek baru tersebut harus memperhatikan pengurangan aliran kas akibat penurunan penjualan produk lama. Taksiran yang digunakan adalah taksiran bersih, setelah dikurangi berkurangnya kas masuk dari produk lama. Contoh 1. Suatu proyek memerlukan investasi sebesar Rp 1.000 juta, dan ditaksir memberikan kas masuk bersih sebesar Rp 200 juta setiap tahun. Investasi sebesar Rp 1.000 juta tersebut terdiri dari aktiva tetap yang ditaksir berusia ekonomis 8 tahun sebesar Rp 800 juta, dan modal kerja sebesar Rp 200 juta. Misalkan aktiva-aktiva tetap tersebut ditaksir mempunyai nilai sisa Rp 50 juta pada akhir tahun ke 8. Akan tetapi, dengan adanya proyek tersebut mengakibatkan berkurangnya penjualan dari produk lama sehingga menyebabkan penurunan aliran kas produk lama sebesar Rp 50 juta per tahun. Dengan demikian taksiran aliran kas adalah sebagai berikut: Initial cash flow Operational cash flow (tahun ke-1 S/d ke- 8) per tahun (Rp 200 juta – Rp 50 juta) Terminal cash flow : Modal kerja Rp 200 juta Nilai sisa Rp 50 juta Rp 1.000 juta Rp 150 juta Rp 250 juta Dimana initial cash flow merupakan aliran kas keluar, sedangkan operational cash flow dan terminal cash flow merupakan aliran kas masuk. Contoh 2. Misalkan suatu perusahaan sedang mempertimbangkan untuk mengganti mesin lama dengan mesin baru yang lebih efisien. Nilai buku mesin lama adalah Rp 80 juta dan masih bisa dipergunakan dalam 4 tahun lagi, tanpa nilai sisa. Mesin baru harganya Rp 120 juta dengan umur ekonomis 4 tahun tanpa nilai sisa, Anggap perusahaan memakai penyusutan dengan metode garis lurus. Kalau mesin baru dipakai perusahaan bisa menghemat biaya operasi tunai per tahun sebesar Rp 25 juta. Misalkan mesin lama kalau dijual saat ini masih laku Rp 80 juta, tarif pajak yang dikenakan, baik untuk laba operasional maupun capital gains, sebesar 30%. Bagaimana penaksiran aliran kasnya? Penaksiran aliran kas yang digunakan adalah dengan menggunakan taksiran selisih (incremental). Kalau perusahaan mengganti mesin lama dengan mesin baru, maka perlu tambahan investasi sebesar Rp 120 juta – Rp 80 juta = Rp 40 juta. Taksiran operational cash flow per tahun adalah: Tambahan keuntungan karena penghematan biaya operasional Tambahan penyusutan : Mesin baru Rp 30 juta Mesil lama Rp 20 juta Rp 25 juta Rp 10 juta Tambahan laba sebelum pajak Tambahan pajak Rp 15 juta Rp 4,5 juta Tambahan laba setelah pajak Rp 10,5 juta Tambahan kas masuk bersih Rp 10,5 juta + Rp 10 juta Rp 20,5 juta Dengan demikian, maka rencana penggantian mesin tersebut akan mengakibatkan penambahan investasi (yang merupakan kas keluar) Rp 40 juta, dan memberikan tambahan kas masuk operasional setiap tahun Rp 20,5 juta selama 4 tahun. Karena dalam hal ini tidak ada nilai sisa, maka tidak ada terminal cash flow. Contoh ini bisa dimodifikasi untuk berbagai keadaan, seperti contoh berikut ini. Contoh 3 Misalkan dari contoh 2 di atas, mesin baru mempunyai usia ekonomis 6 tahun, bukan 4 tahun (asumsi ini lebih logis, karena mesin baru akan mempunyai umur ekonomis lebih lama). Dengan demikian aliran kasnya menjadi sebagai berikut: Tambahan aliran kas keluar /initial cash flow (untuk tambahan investasi) Rp 40 juta. Untuk menaksir tambahan aliran kas masuk setiap tahun, perlu ditentukan terlebih dahulu periode waktu yang sama. Dimana umur ekonomis mesin lama tinggal 4 tahun dan mesin baru masih 6 tahun. Kalau langsung ditempuh cara seperti pada contoh nomor 2, maka akan dijumpai kesulitan karena periode yang tidak sama ini. Untuk itu ditentukan terlebih dahulu waktu yang sama ini yaitu 4 tahun. Setelah 4 tahun, maka mesin baru akan tinggal mempunyai nilai sisa sebesar (2 x Rp 20 juta) = Rp 40 juta. Karena penyusutan mesin baru sekarang adalah Rp 20 juta per tahun. Tambahan keuntungan karena penghematan biaya operasional Tambahan penyusutan : Mesin baru Rp 20 juta Mesil lama Rp 20 juta Rp 25 juta Rp 0 juta Tambahan laba sebelum pajak Tambahan pajak Rp 25 juta Rp 7,5 juta Tambahan laba setelah pajak Rp 17,5 juta Tambahan kas masuk bersih Rp 17,5 juta + Rp 0 juta Rp 17,5 juta Setelah informasi yang relevan terkumpul, barulah dapat dilakukan evaluasi terhadap layak (favourable) tidaknya suatu usulan investasi. Dalam keputusan investasi hanya ada dua alternatif, menolak atau menerima usulan investasi. Ada beberapa metode dapat digunakan untuk mengevaluasi keputusan investas, yaitu :
8.2 Alternatif Investasi
8.3 Menaksir Aliran Kas
Berbagai contoh menaksir aliran kas
8.4 Metode Penilaian Profitabilitas Investasi
1. Metode Payback
Metode ini mencoba mengukur seberapa cepat suatu investasi bisa kembali. Karena itu satuan hasilnya adalah waktu (tahun atau bulan). Kalau periode payback suatu usulan investasi lebih pendek dari yang disyaratkan, maka usulan investasi (proyek) dinyatakatan diterima, bila sebaliknya proyek ditolak. Problem utama dalam metode payback adalah sulitnya menentukan periode payback maksimum yang disyaratkan sebagai pembanding. Secara normatif memang tidak ada pedoman yang bisa dipakai untuk menentukan periode payback maksimum. Dalam kenyataannya, yang umum digunakan adalah periode payback dari investasi yang sejenis. Periode payback dapat dihitung dengan menjumlahkan aliran kas tahunan hingga mencapai jumlah sama dengan nilai investasi awal. Jadi dalam jangka waktu kapan investasi bisa kembali.
2. Metode Net Present Value
Metode ini menghitung selisih present value (nilai sekarang) investasi dengan present value kas masuk bersih (proceeds). Untuk menghitung present value tersebut perlu ditentukan terlebih dahulu tingkat bunga yang relevan.
Net Present Value (NPV) yang positip menunjukkan bahwa PV proceeds lebih besar dari PV investasi (initial cash flow). Karena itu NPV yang positip berarti investasi yang diharapkan akan meningkatkan kekayaan pemodal atau pemilik. Karenanya investasi dinilai menguntungkan. Dengan demukian decision rule nya adalah: terima suatu usulan investasi yang diharapkan memberikan NPV positip, dan tolak kalau memberikan NPV negatip.
Perhitungan NPV menggunakan rumus sebagai berikut:
Atau
dimana :
A = kas masuk bersih (procced)
r = suku bunga
t = waktu (tahun) 1 sampai n
n = umur investasi
Io = Investasi awal
3. Metode Profitability Index (PI)
Profitability index menunjukkan perbandingan antara PV proceeds dengan PV investasi.
Kriteria yang digunakan: terima investasi yang diharapkan memberikan PI > 1
Rumus :
PV proceeds
PI =
PV investasi
4. `Internal Rate of Return (IRR)
IRR menunjukkan tingkat bunga yang menyamakan PV proceeds dan PV investasi. Decision rule metode ini adalah: terima investasi yang diharapkan memberikan IRR > tingkat bunga yang dipandang layak.
Rumusnya :
Dimana:
r1 = suku bunga yang menghasilkan PV positip
r2 = suku bunga yang menghasilkan PV negatip
PV1 = PV pada suku bunga r1
PV2 = PV pada suku bunga r2
NPV1 = Net present value pada bunga r1
Contoh:
Suatu perusahaan transportasi akan membuka divisi baru, yaitu divisi taksi. Divisi akan dimulai dengan 50 buah taksi, dan karena akan dipergunakan untuk usaha taksi, mobil-mobil tersebut dapat dibeli dengan harga Rp 30 juta per unit. Ditaksir usia ekonomis selama 4 tahun dengan nilai sisa sebesar Rp 4 juta per unit. Untuk mempermudah analisis dipergunakan metode penyusutan garis lurus.
Taksi tersebut akan dioperasikan selama 300 hari dalam setahun, setiap hari pengemudi dikenakan setoran Rp 50.000. Berbagai biaya tunai seperti penggantian ban, kopling, rem, penggantian oli, biaya perpanjangan STNK, dan sebagainya) ditaksir sebesar Rp 3.000.000 per unit taksi. Perusahaan dikenakan pajak 35%. Tingkat keuntungan yang disyaratkan 16%. Berdasarkan informasi tersebut apakah pembukaan divisi taksi ini layak ?.
Jawab:
Taksiran rugi laba per tahun
Penghasilan : 300 x 50 x Rp 50.000 Rp 750,00 juta
Biaya-biaya:
Tunai 50 x Rp 3 juta Rp 150,00 juta
Penyusutan 50 x Rp 6,5 juta Rp 325,00 juta
Total biaya Rp 475,00 juta
Laba operasi Rp 275,00 juta
Pajak (35%0 Rp 92,25 juta
Laba setelah pajak Rp 178,75 juta
Operational cash flow per tahun = Rp 178, 75 + Rp 325 juta = Rp 503,75 juta
Pada tahun ke 4 aliran kas masuk karena nilai sisa sebesar 50 x Rp 4 juta = Rp 200 juta.
Dengan demikian aliran kas dari investasi tersebut diperkirakan sebagai berikut:
Tahun Kas keluar Kas masuk
0 Rp 1.500 juta -
1 - Rp 503,75 juta
2 - Rp 503,75 juta
3 - Rp 503,75 juta
4 - Rp 503,75 juta
Rp 200 juta
Payback Period
Investasi awal Rp 1.500,00 juta
Proceed tahun 1 Rp 503,75 juta
Sisa investasi tahun 2 Rp 996,25 juta
Proceed tahun 2 Rp 503,75 juta
Sisa investasi tahun 3 Rp 492,50 juta
Karena pada tahun ke 3 kas masuk bersih Rp 503,75 juta, maka sisa sebesar Rp 492,50 diharapkan akan kembali dalam waktu : (492,50/503,750 x 12 bulan = 11,73 bulan.
Dengan demikian periode payback investasi ini adalah 2 tahun 11,73 bulan.
Net Present Value (NPV)
503,75 200
NPV = + - Rp 1.500
( 1 + 0,16) (1 + 0,16)
= 503,75 (2,798) + 200 (0,552) - 1.500
= 1.519,89 - 1.500 = 19,89
Jadi NPV positip sebesar Rp 19,89 juta, maka investasi ini menguntungkan atau dapat dilaksanakan.
Profitability Index (PI)
1.519,89
PI = = 1,013
1.500
Karena PI > 1 investasi dapat diterima.
Internal Rate of Return (IRR)
Pada tingkat bunga 16% PV penerimaan positip sebesar Rp 1.519,89
PV penerimaan pada tingkat bunga 17% :
503,75 200
PV = +
(1+ 0,17) (1 +0,17)
= 503,75 ( 2,743) + 200 (0,534)
= 1.381,79 + 106,80 = 1488,59.
19,89
IRR = 16 + x (17-16)
1.519,89 – 1.488,59
= 16 + 0,51
= 16, 51
Karena IRR > dari tingkat keuntungan yang disyaratkan (16%) maka investasi diterima.
- Perbandingan Metode-metode Penilaian Profitabilitas Investasi
Keputusan investasi menyangkut penilaian atas suatu usulan investasi atau pemilihan satu atau beberapa dari alternatif-alternatif usulan yang tersedia. Beberapa metode penilaian investasi telah diuraiakan sebelumnya, yaitu Metode Payback, Net Present Value NPV), Profitability Index (PI) dan Internal Rate of Return IRR). Pertanyaan yang muncul, metode mana yang lebih baik dan seharusnya digunakan ?
Dari metode-metode tersebut, metode payback memiliki kelemahan yaitu diabaikankannya nilai waktu uang (time value of money). Sebagaimana diketahui bahwa investasi merupakan pengeluaran saat ini dengan pengembalian dalam jangka waktu panjang (lebih dari satu tahun), sehingga nilai waktu uang menjadi sangat penting dalam penilaiannyai. Kelemahan lainnya adalah diabaikannya aliran kas bersih (proceeds) setelah periode payback. Di samping itu tidak ada dasar konsepsi untuk menentukan payback maksimum yang diperkenankan sebagai pembanding untuk memutuskan apakah suatu usulan diterima atau ditolak.
Dengan berbagai kelemahan metode payback, sekarang tinggal 3 pilihan yaitu NPV, PI dan IRR. Yang jelas, ketiga metode ini memiliki kesamaan yaitu, diperhatikannya time value of money dan menggunakan dasar aliran kas. Pertanyaannya sekarang adalah mana dari ketiga metode tersebut memberikan arah keputusan yang konsisten baik dalam penilaian suatu usulan investasi maupun pemilihan dari beberapa alternatif usulan yang ada.
1. Perbandingan NPV dan PI
Bila menilai suatu usulan investasi menggunakan metode NPV dan PI hasilnya akan selalu konsisten. Artinya kalau NPV menyimpulkan suatu usulan investasi diterima (menguntungkan), maka PI juga menyimpulkan diterima, demikian sebaliknya. Hal ini nampak jelas dengan mengamati mekanisme kedua metode tersebut. Kalau PV penerimaan-penerimaan kas bersih di masa datang (PV proceeds) lebih besar dari PV investasi maka NPV positip, berarti investasi diterima . Dengan demikian berarti perbandingan PV proceeds dengan PV investasi (PI) akan lebih besar dari satu. PI lebih besar dari satu berarti investasi diterima. Jadi bila menilai suatu usulan, NPV dan PI memberikan keputusan yang sama.
Tetapi bila dihadapkan pada pemilihan salah satu atau beberapa usulan investasi dari berbagai alternatif, hasilnya bisa tidak konsisten.
Hal ini dapat dibuktikan dari contoh berikut ini. Misalkan ada dua usulan yaitu proyek A dan proyek B dengan karakteristik sebagai berikut:
Usulan Nilai investasi PI NPV |
A Rp 800 juta 1,08 Rp 64 juta |
B Rp 300 juta 1,15 Rp 45 juta |
Bila dihadapkan pada pemilihan ini berarti anda memiliki dana Rp 800 juta, sebab kalau tidak maka tidak bisa memilih usulan A. Kalau demikian usulan mana yang akan dipilih? Kalau menggunakan metode PI maka usulan B yang akan dipilih karena PI nya lebih besar dari usulan A. Tetapi kalau menggunakan metode NPV maka akan menguntungkan memilih usulan A karena NPVnya lebih besar dari Usulan B.
Sebagaimana asumsi dari persoalan ini adalah anda memiliki dana Rp 800 juta dan hanya ada dua kesempatan investasi tersebut. Berarti anda akan lebih diuntungkan bila memilih usulan A, karena kekayaan riil anda akan bertambah Rp 64 juta. Bila memilih usulan B, kekayaan riil anda hanya akan meningkat Rp 45 juta karena sisa dana Rp 500 juta tidak dapat dimanfaatkan.
Dengan demikian, penggunaan metode NPV memberikan hasil keputusan yang lebih baik dari pada metode PI. Hal ini disebabkan karena dengan menggunakan metode NPV yang dilihat adalah nilai absolut, bukan perbandingan (relatif) seperti dalam metode PI. Karena itu, bila dibandingkan kedua metode tersebut maka metode NPV lebih baik.
2. Perbandingan NPV dan IRR
Kalau metode NPV dan IRR digunakan untuk menilai suatu usulan investasi yang sama, maka hasilnya umumnya akan sama, dalam arti bila NPV menyatakan usulan diterima maka IRR juga menyatakan diterima, demikian pula sebaliknya. Terkecuali, bila suatu usulan memiliki pola aliran kas yang tidak normal, kedua metode tersebut bisa menghasilkan keputusan yang tidak sama.
Contoh berikut akan memperjelas persoalan ini.
Misalkan suatu usulan investasi mempunyai pola aliran kas seperti berikut:
Tahun Aliran Kas
- - Rp 1,6 juta
- + Rp 10 juta
- - Rp 10 juta
Pola aliran kas semacam ini dikatakan tidak normal karena operational cash flow ternyata tidak selalu positip setiap tahunnya.
Bila dihitung IRR dari usulan tersebut akan menjadi seperti berikut:
10 10
1,6 = -
( 1 + r } ( 1 + r )2
Bila kedua sisi persamaan tersebut dikalikan dengan ( 1 + r )2, maka hasilnya menjadi:
1,6 ( 1 + r )2 = 10 ( 1 + r ) – 10
1,6 r2 - 6,8 r + 1,6 = 0
Dengan menggunakan rumus abc, maka nilai-nilai r (IRR) diperoleh:
r1 = 4 atau 400% r2 = 0,25 atau 25%
Dengan adanya dua IRR, timbul masalah tingkat bunga mana yang seharusnya digunakan. Kalau misalkan tingkat bunga yang disyaratkan adalah 30%, maka dengan menggunakan r1 = 400%, dapat disimpulkan investasi ini diterima . Bila digunakan r2 = 25% maka investasi ini ditolak.
Persoalan seperti itu tidak akan dijumpai kalau digunakannya metode NPV. Kalau tingkat bunga 30% , NPV usulan tersebut adalah:
10 10
NPV = - 1,6 + -
( 1+0,30) (1+0,30)2
= - 1,6 + 10(0,769) - 10 ( 0,592) = Rp 0,170 juta
Karena NPV positip maka usulan investasi diterima.
Bila dihadapkan pada pemilihan usulan investasi, metode NPV dan IRR bisa memberikan keputusan yang tidak konsisten. Ilustrasi berikut dapat memperjelas pernyataan tersebut.
Misalkan ada dua usulan investasi, yaitu Usulan A dan Usulan B dengan nilai investasi masing-masing Rp 1.100 juta. Aliran kas masuk bersih (Proceeds) kedua usulan tersebut adalah sebagai berikut:
Tahun Aliran Kas bersih (dalam jutaan )
Usulan A Usulan B
1 Rp 1.300 Rp 300
2 100 300
3 100 1.300
Bila keuntungan yang disyaratkan adalah 18%, maka NPV usulan tersebut adalah:
1.300 100 100
NPVA = + + - 1.100
( 1 + 0,18) ( 1 + 0,18)2 ( 1 + 0,18)3
= Rp 134,43
300 300 1.300
NPVB = + + - 1.100
( 1 + 0,18) ( 1 + 0,18 )2 ( 1 + 0,18 )3
= Rp 160,89
Dengan melihat NPV maka lebih menguntungkan memilih Usulan B karena NPVB lebih besar dari pada NPVA.
Kalau dihitung IRR kedua usulan tersebut diperoleh:
IRRA = 30,53% IRRB = 25,09%
Bila melihat IRR maka usulan A yang dipilih karena IRR lebih besar.
Dengan demikian, timbul pertanyaan, usulan mana yang akan dipilih
? Bila memakai NPV usulan B yang dipilih, bila memakai IRR usulan A yang dipilih.Untuk mengatasi persoalan ini maka digunakan analisis incremental (selisih) , yaitu dengan menghitung IRR dari selisih aliran kas kedua usulan tersebut.
Aliran Kas bersih (jutaan rupiah)
Usulan | 0 | 1 | 2 | 3 | IRR |
A
B | - 1.100
- 1.100 | 1.300 300 | 100 300 | 100 1.300 | 42% 30% |
B minus A | 0 | - 1.000 | + 200 | +1.200 | IRR ncremental = 20,16% |
Dengan melihat perhitungan selisih tersebut maka bila memilih B akan diperoleh kas masuk lebih kecil Rp 1.000 juta tahun ke-1 tetapi menerima lebih besar Rp 200 juta pada tahun ke-2 dan Rp 1.200 pada tahun ke-3. Tingkat bunga yang menyamakan aliran kas incremental adalah 20,16%. Berarti IRR incremental adalah 20,16%, yang mana lebih besar dari tingkat keuntungan yang disyaratkan yaitu 18%. Dengan demikian maka lebih menguntungkan memilih usulan B karena IRR incremental lebih besar dari tingkat keuntungan yang disyaratkan. Keputusan ini konsisten dengan metode NPV, yang menganjurkan memilih B karena NPV lebih besar.
Dengan kata lain, metode NPV selalu memberikan keputusan yang tepat sepanjang dapat ditentukan tingkat keuntungan yang disyaratkan atau tingkat bunga yang relevan dengan tepat pula.
Dari perbandingan metode-metode penilaian investasi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa metode NPV selalu dapat memberikan keputusan yang lebih tepat, sehingga dalam pengambilan keputusan investasi sebaiknya menggunakan metode NPV.
Ilustrasi Terjadinya Penghitungan Ganda
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa cara menaksir aliran kas bersih atau proceeds ada 2 cara yaitu:
- Bila investasi seluruhnya didanai dengan modal sendiri
Kas masuk bersih (proceeds) = Laba setelah pajak + Penyusutan
- Bila investasi sebagian didanai dengan hutang,
Kas masuk bersih (Proceeds) = Laba setelah pajak + penyusutan + Bunga
( 1- tingkat pajak).
Penghitungan ganda dapat terjadi kalau suatu investasi didanai dengan modal pinjaman sementara cara menaksir aliran kas bersih hanya dihitung dengan formula : laba setelah pajak ditambah penyusutan. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan ilustrasi berikut.
Contoh 1: Investasi berumur 1 tahun tanpa dikenakan pajak
Misalkan suatu usulan investasi (proyek) bernilai Rp 10 juta dan didanai seluruhnya dengan modal pinjaman (hutang). Bunga yang harus ditanggung 20% dan perusahaan tidak dibebani pajak. Karena proyek berusia 1 tahun maka penyusutannya adalah Rp 10 juta . Taksiran laba/rugi proyek ini sebagai berikut:
Penghasilan Rp 20 juta
Biaya-biaya:
Tunai Rp 7 juta
Penyusutan Rp 10 juta
Rp 17 juta
Laba sebelum bunga dan pajak Rp 3 juta
Bunga Rp 2 juta
Laba sebelum pajak Rp 1 juta
Pajak Rp 0
Laba setelah pajak Rp 1 juta
Bila menggunakan metode NPV untuk menilai profitabilitas proyek maka harus ditentukan terlebih dahulu: tingkat bunga yang relevan dan aliran kas bersih proyek.
Karena proyek ini dibelanjai dengan hutang maka tingkat bunga yang relevan adalah biaya modal pinjaman. Karena tingkat bunga hutang 20%, perusahaan tidak kena pajak, maka biaya modal setelah pajak adalah: 20% (1-0) = 20%.
Kalau proceed dihitung dengan cara : laba setelah pajak + penyusutan , maka
Proceed = Rp 1 juta + 10 juta = Rp 11 juta
Dengan demikian NPV proyek ini:
11
NPV = - 10 = - Rp 0,833 juta
( 1 + 0,20 )
Karena NPV negatip maka proyek dinyatakan ditolak.
Persoalannya, apakah benar kita harus menolak usulan investasi ini. Dari data yang ada sangat jelas bahwa satu tahun yang akan datang kekayaan riil akan bertambah Rp 1 juta yaitu laba setelah pajak. Di lain pihak dapat diamati bahwa dalam satu tahun itu perusahaan akan dapat melunasi pinjaman (yang diambil dari penyusutan) dan juga dapat membayar bunga Rp 2 juta, bahkan masih ada lebih Rp 1 juta (laba bersih setelah pajak).
Penyebab dari persoalan ini tidak lain, karena telah terjadi penghitungan ganda dalam menilai proyek, yaitu, mengurangkan bunga dalam menaksir aliran kas dan menggunakan tingkat bunga tersebut untuk menghitung present value aliran kas.
Cara yang seharusnya digunakan dalam menaksir aliran kas adalah menggunakan formula kedua, yaitu laba setelah pajak + penyusutan + bunga ( 1 – tingkat pajak).
Dengan demikian :
Aliran kas bersih = Rp 1 juta + Rp 10 juta + Rp 2 ( 1 – 0 ) = Rp 13 juta
13
NPV = - 10 = + Rp 0,833 juta
(1 + 0,20)
Karena NPV positip berarti usulan investasi diterima.
Nilai Rp 0,833 tidak lain adalah present value dari Rp 1 juta yang merupakan tambahan kekayaan (yaitu laba bersih setelah ) satu tahun yang akan datang dengan tingkat bunga 20%.
Contoh 2. Proyek berusia lebih dari 1 tahun ada pajak
Misalkan suatu investasi bersilai Rp 10 juta, dengan umur ekonomis 2 tahun tanpa ada nilai sisa, didanai dengan hutang seluruhnya dikenakan bunga 20%. Karena usia ekonomis 2 tahun maka dengan metode penyusutan garis lurus, penyusutan tiap tahun menjadi Rp 5 juta
Taksiran penghasilan dan biaya per tahun sebagai berikut:
Penghasilan Rp 20 juta
Biaya-biaya:
Tunai Rp 12 juta
Penyusutan Rp 5 juta
Rp 17 juta
Laba sebelum bunga dan pajak Rp 3 juta
Bunga Rp 2 juta
Laba sebelum pajak Rp 1 juta
Pajak Rp 0,2 juta
Laba setelah pajak Rp 0,8 juta
Karena perusahaan menggunakan hutang dan kena pajak, maka tingkat bunga yang relevan untuk investasi ini adalah tingkat bunga setelah pajak, yaitu: 20% ( 1-0,20) = 16%
Bila Proceeds per tahun dihitung dengan formula :
laba setelah pajak + penyusutan, maka
Proceeds = Rp 0,8 juta + Rp 5 juta = Rp 5,8 juta
5,8 5,8
NPV = + - 10 = - Rp 0,69
(1 + 0,16) (1 + 0,16)2
Karena NPV negatip berarti usulan investasi ditolak.
Sama seperti contoh 1 di atas, apakah benar harus menolak investasi yang dapat menambah kekayaan riil Rp 0,8 per tahun dalam waktu dua tahun yang akan datang.
Bila tidak digabungkannya keputusan pendanaan dan keputusan investasi, maka perhitungan aliran kas adalah : laba setelah pajak + penyusutan + bunga ( 1- tingkat pajak). Dengan demikian :
Aliran kas bersih = Rp 0,8 juta + Rp 5 juta + Rp 2 juta ( 1 – 0,20 ) = Rp 7,4 juta
NPVnya menjadi :
7,4 7,4
NPV = + - 10
( 1 + 0,16 ) ( 1 + 0,16 )2
= Rp 1,879 juta
Ternyata NPV positip yang berarti usulan investasi seharusnya diterima.
Untuk meyakinkan apakah cara menaksir aliran kas tersebut sudah benar, kita tinggal mengecek kembali apakah benar kekayaan riil perusahaan bertambah Rp 1,879 juta selama dua tahun itu.
Untuk itu perlu ditinjau kembali berapa tambahan kekayaan riil yang akan diterima dalam dua tahun.
Pada tahun ke-1 kekayaan riil akan bertambah Rp 0,8 juta. Pada tahun ke-2 pinjaman sudah bisa diangsur Rp 5 juta yang diambilkan dari dana penyusutan tahun ke-1, sehingga bunga yang ditanggung Rp 1 juta. Dengan demikian maka laba setelah pajak menjadi:
Laba sebelum bunga dan pajak Rp 3,0 juta
Bunga ( 20% x Rp 5 juta) Rp 1,0 juta
Laba sebelum pajak Rp 2,0 juta
Pajak ( 20% ) Rp 0,4 juta
Laba setelah pajak Rp 1,6 juta
Present value dari tambahan kekayaan selama dua tahun, yaitu:
0,8 1,6
= +
( 1 + 0,16) ( 1 + 0,16)2
= Rp 1,879 juta
Present value tersebut sama dengan NPV yang dihitung di atas.
Jadi, demikian cara yang bisa dilakukan untuk membuktikan bahwa cara menaksir aliran kas yang digunakan sudah benar.
0 komentar:
Posting Komentar